Selasa, 14 September 2010

Epilog : H a j a r

HAJAR

Sigit Suryawan


Begawan pembebasan dari seluruh pembebasan adalah kesalihan. Kesalihan bermula dari pengetahuan, kesadaran, dan cinta. Dia adalah akumulasi arti itu semua. Kesalihan dalam sejarah manusia selalu bermakna pemberontakan !, yah…kesalihan sejati adalah melatih diri untuk menjadi pemberontak yang bertanggung jawab, menghindarkan diri dari sesuatu yang mengingatkan kita terhadap ‘diri kita sendiri’ yang menyebabkan kemandegan dan kejumudan. Maka substansi dari kesalehan itu adalah bergerak.
Maka kenapa kita tidak berkutat pada gerak itu sendiri. Kita sering diam dan mendiamkan, kita tidak berusaha bergerak dan menggerakkan.

Atom bergerak, proton-neutron bergerak, awan dan seluruh material jagad ini bergerak. Setiap gerak tetap memiliki arti dalam ruang kosmis semesta ini. Entah itu gerakan negatif atau positip. Namun bagaimana dengan berdiam diri ?. Diam adalah substansial yang kosong tanpa preferensi dan hampa akan kesadaran maka dia akan digerakkan dengan kekuatan positip atau negatip.

Lihatlah ketika ‘Hajar’ memahami kebutuhan diri dan Ismailnya, dia sadar bahwa substansi doa adalah bergerak. Maka doa yang pertama kali dia lakukan adalah prosesi manusia yang saleh dan pemberontak. Dia menyerahkan ISMAIL kepada Tuhannya dan diapun berlari mencari ‘Air’ dari Shafa dan Marwa.

Berlari hingga akhirnya daam-daam pun mengalir dan bergemuruh. Hajar adalah tipologi manusia yang tahu diri, sadar diri dan rendah hati. Dia memahami dan menyadari bahwa untuk memaknai hidup adalah bergerak, dia tidak mau diam menjadi ‘kosong’ yang akhirnya akan menelantarkan ISMAIL dan dirinya sendiri.

Kejumudan akan luntur dengan gerakan yang kontinyu dan dinamis, dahaga diri akan terpuaskan dengan gerak yang terprogram, terencana dan ikhlas. Suatu nilai dasar kenapa kita tidak pernah berubah…….yaitu karena kita tidak pernah bergerak dan mungkin kalaupun kita bergerak kita tidak punya pengetahuan, kesadaran, dan cinta dalam setiap gerak kita.

Bergerak adalah mencurahkan segenap energi untuk merubah kondisi di sekelilingnya – merubah kondisi di sekelilingnya hingga ada hal yang harus berubah. Kenapa sulit untuk berubah, karena kita tidak bergerak.
Kenapa sulit untuk bergerak karena padam semangat hijrah dalam diri kita.
Hijrah adalah fenomena; dia melaknat kondisi yang stagnan, menghujat kebodohan dan kelemahan, menghancurkan sandungan-sandungan, meniti dalam baru, merekayasa cita-cita. Maka hijrah adalah ikhlas dalam meninggalkan kebodohan diri kita, karena dibalik kebodohan ada ekstasi bukan empathy. Ekstasi membuat diri kita terbius dan terpenjara dan terpasung dan sekian kali kita melihat diri kita seperti itu dan berulang kali kita memakluminya,..ah….begitu jahatnya kita.

Hijrah adalah deklarasi sikap dan aktualisasi, sedangkan Jihadah adalah semangatnya – usahanya dalam memperjuangkan deklarasi tersebut. Jihad adalah prosesi gerak yang sungguh-sungguh memaknai apa arti kebodohan….dan berjuang untuk membenci dan memperjuangkannya. Jihadah adalah proses suci yang merangkai seluruh cita-cita. Perubahan dalam gerak yang pasti terorientasi. Jihadah adalah optimalisasi , maksimalisasi dari proses hijrah kita. Jika kau pikir tak mampu meraih cinta-Nya, maka berdaya-upayalah kamu dengan sungguh-sungguh semampu kamu.
Hajar adalah sosok genius, shalih. Dia sadar bahwa dua bukit berarti meninggalkan lembah ditengahnya dan disitulah tempat yang cocok untuk adanya sumur artesis. Dia memahami struktur tanah yang ada, dia memahami struktur padang pasir yang dia diami bertahun-tahun.

Berlarinya Hajar bukanlah keputusasaan. Berlarinya Hajar adalah doa dalam jihadnya. Dia bukan berlari meninggalkan tanggung jawabnya untuk Ismail kehausan dan dia tidak memiliki air susu karena kehausan pula. Hajar berserah diri dan berlari karena kemampuan dia memahami dirinya, Ismail dan lingkungannya. Hajar adalah sosok yang memiliki keswadayaan yang paripurna. Ia menjejak tanah sambil berlari di tanah lembah Shafa dan Marwa dengan langkah yang mantap dan terencana, dia tidak memiliki cangkul untuk menggali tanah, yang dia miliki hanya kaki-kakinya.
Dia berlari menjejak tanah dengan keras dan kontinyu agar struktur tanah dapat berubah, tekanan energi Hajar membuat tanah di sekitarnya bergejolak menekan ke bawah dan akhirnya air dari sumur itu terpancar dengan gemuruhnya. Dia sadar doa bukan dogmatis, bukan cermin ketidakmampuan dan topeng kelemahan tapi doa yang afdol adalah melalui kaki-kakinya dan energinya.

Hajarpun membahagiakan Ismail yang kehausan, dia membahagiakan padang pasir, burung unta dan seluruh mahluk. Hajar adalah abdun, khalifah, dan rahmatan yang baik. Dia sadar akan semua itu dan punya pengetahuan dan cinta akan itu.

4 komentar:

  1. Bukan Orang Haus saja yang mencari air, tapi air pun akan mencari orang yang haus.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. Hajar pun dapatkan air, ia kembali berlari temui Ismail yang tetap sabar dan selalu tersenyum meski kedua bibirnya merona merah pecah terbakar sang surya.

    Begitupun Muhammad,saw. ia hijrahkan masyarakat dan dirinya ke negeri yang terjanjikan (yastrib), ia bangun tatanan peradaban baru (Madinah). Lantas ..... Mengapa Muhammad, saw harus kembali ke Mekkah? dan mengajak masyarakatnya kembali menempuh perjalanan yang sangat meletihkan, mengarungi bukit pasir dan batu karang di tengah-tengah dataran Tihama, yang pantulan sinar mataharinya panas membakar?

    Maka jika kita adalah pecinta Hajar dan Muhammada saw, kita harus tahu substansi Hijrah itu sendiri, sehingga semangat dan cinta kita kepada Hajar dan Muhammad saw, bukanlah cinta PLATONIS.

    BalasHapus